Kamis, 26 Februari 2009

surat dari jauh

SURAT DARI JAUH


Tiga tahun sudah aku duduk di bangku kuliah, di salah satu universitas negeri, di kota kembang. Jauh dari orang tua , jauh dari sanak saudara dan jauh dari desa yang sangat aku rindukan.
Dan kini, setelah tiga tahun lamanya aku kembali kedesa, mencoba istirahat dari semua yang menghantui kehidupanku selama ini, dari pelajaran di campus, dan pekerjaan yang senantiasa ku geluti selama ini selepas pulang kuliah. Aku tapaki padang ilalang yang terhampar luas di depanku.di balik padang ini maka akan nampaklah desaku tercinta. Desa yang kurindukan , desa yang selalu membuatku ingin maju untuk lebih hidup lagi. Tiba-tiba aku dihinggapi rasa haru yang membuncah dan tanpa sadar tlah mempercepat langkah kakiku untuk segera sampai di rumah.dan beberapa langkah kemudian nampaklah desaku yang molek tiada duanya. Padi yang hijau bak permadani, di sekitarnya nampak bergerombol rumah penduduk, .di jauh sana nampak anak sungai yang membelah desa berkelok-kelok seperti ular menambah kecantikannya .Di tambah di apit oleh anak gunung yang anggun bak tembok besar cina yang siap menjaga kedamaian desa. Ah…ternyata tidak ada yang berubah. Desa ini masih sama seperti desaku tiga tahun yang lalu .Tapi…kenapa seperti ada keganjilan.apa ada yang hilang? aku edarkn mataku sekali lagi….tidak.! tidak ada yang berubah! tapi aku merasa tak yakin lantas kuedarkan mataku sekali lagi. Ini dia! gunung samping kiri desaku itu nampak memerah. Ada apa gerangan? apa bekas longsor seperti cerita ibu lewat surat-suratnya dua tahun yang lalu? hijau keperawanan hutan sebelah telah terkikis dan berakhir longsor yang banyak menelan banyak korban
Aku ingat, dulu di hutan itu aku suka mencari buah-buahan hutan bersama kakak, kakak yang mengorbankan sekolahnya demi aku, kakak yang terus menjaga dapur agar tetap mengepul, kakak yang sangat menyayangi kami semua, kakak yang sangat mencintai desa dan kakak yang selalu berharap agar aku bisa menancapkan pilar-pilar emas di jantung desaku sesuai cita-citanya dan kakaklah yang menjadi alasan kenapa aku bisa jadi seperti ini.karena dialah status mahasiswa ini ku sandang karena dialah walau sehebat apapun rintangan aku siap menghadangnya. Tiba-tiba mataku mengembun. Bukan, Bukan. Karena aku ingat dia yang telah menghadapnya .Tapi aku sedih…karena aku tak bisa menjaga yang di cintainya.Tiga tahun aku tinggalkan desa ini dan kini aku pulang , desaku banyak berubah.tak kudengar lagi suara cicit-cicit burung ,derap kaki menjangan ,kera-kera yang bergelantungan , ikan-ikan yang di selokan, di parit-parit, diair tergenang. Kemanakah mereka? apa sudah demikian rusakkah ekositem di desaku? tangan jahil siapakah yang berani menyentuhnya ? kakakku…kakaku…apa yang mesti kukatakan padamu?
Hari hampir di rangkul gelap, ketika aku sampai di rumah.ibu menyambutku hangat, penuh keharuan setelah tiga tahun lamanya tak melihatku.Maklumlah aku hidup di kota kembang , membiayai kuliah hasil keringat ku sendiri tapi kadang-kadang ibu juga membantuku dari hasil jualan kuenya di kantin sekolah. Karena ayah meninggal menyusul kakak setahun kemudian dan setiap bulan kami saling berkirim surat, bertanya kabar .untuk itu walau hidup kami susah aku berusaha untuk terus kuliah agar aku bisa berharap suatu hari aku bisa merobah semua ini menjadi lebih baik lagi walau tak jarang aku terpaksa puasa agar pengeluaranku sedikit lebih hemat.
Sehabis makan malam kami berkumpul di beranda rumah , ibu bercerita tentang banyak hal, tentang longsor , banjir dan kekeringan yang kerap melanda desa dan tidak sedikit yang menelan korban .Tentang harga-harga yang melambung tinggi sehingga ibu sering mogok jualan kue karena harga-harga gula dan tepung yang melonjak naik dan ia juga berkata padaku kemungkinan ibu tidak bisa lagi mengirimkan uang karena sudah dua kali panen padi gagal terserang hama , banjir dan kekeringan apalagi di tambah pupuk tanaman padi yang tak sebanding dengan penghasilan mereka kaum petani.Aku diam tak berkata –kata. Ada perih menyelinap hatiku dan entah kenapa airmataku tak bisa mengalir seperti tertahan di tenggorokan Aku merasa tlah di khianati oleh takdir. Masa depan yang kudambakan terasa hambar. Gelap dan kosong. Kepulanganku selain ingin melihat keadaan ibu , aku juga mengharapkan supaya ibu bisa membantuku meski sedikit untuk membiayai registrasi ulangku Tapi mendengar penuturannya ada sedikit kecewa di hatiku , aku memang tak bisa mernyalahkan ibu karena ibu sudah berbuat banyak untuk ku .melihat sosoknya saja yang ringkih kelihatan lebih tua dari usia sebenarnya ,membuatku merasa sedih .Seharusnya ibu sudah saatnya berhenti dari semua ini, tapi aku belum bisa memberikn apa-apa buat ibu selain menyusahkannya saja.
Dulu sewaktu aku mau masuk keperguruan tinggi ,di sana sini banyak orang-orang menggunjingku ,.tapi tak sedikit juga yang mendukungku, katanya aku sebagai perempuan tak pantas sekolah tinggi – tinggi. Toh semua perempuan ujung-ujungnya ke dapur juga, buat mereka gelar untuk perempuan tidaklah penting, jika ia tak bisa mengurus suami, tidak bisa memasak tetap saja tak berarti apa-apa. Ada juga yang mengatakan padaku dengan begitu terang-terangan katanya “ keluarga kalian itu dari nenek moyang nya saja tidak ada yang sarjana , insinyur apalagi dokter jadi jangan mimpi bisa kesampaian . Kelurga kalian itu kere, untuk makan saja susah apalagi masuk perguruan tinggi, toh nenek moyang kalian juga kere, ya…keturunan nya juga kere lah ” waktu itu aku cerita pada kakakku ” gelar itu tidak di turunkan dik, Tapi di capai dengan keinginan dan usaha. Karena itu siapa lagi yang akan merubah peradaban nenek moyang kita jika bukan kita yang dari sekarang yang mengukirnya , ingat jika kita tidak memperoleh pendidikan maka generasi kita pun akan mundur beberapa langkah dari kita kebelakang . Percaya lah selama kita berusah , allah senantiasa memberikan rijkinya apalagi untuk hambanya yang menuntut ilmu, allah tidak pernah tidur dik, buktikan pada mereka kalau semua perkataannya tidak benar .” Komentar kakak ketika mendengar ceritaku.
Ibu seperti mengetahui perasaanku, sambil tersenyum ia berkata ” sebentar lagi ada pemilu, semoga pemerintahan yang sekarang bisa menurunkan harga sehingga kau bisa kuliah lagi nduk ” aku tersenyum getir. Ternyata di balik tubuh yang ringkih itu masih tersimpan harapan padahal selama pemerintah bergonta ganti apa pernah mereka peduli sama kita rakyat kecil? berganti atau tidak itu sama saja tidak ada yang berubah. Kemiskinan tetap saja menjadi borok negeri ini. Ibu pergi kedalam , sesaat kemudian membawa sepucuk surat dan menyuruhku untuk membacanya. Sekilas aku membaca nama pengirim surat di sana tertulis dari dokter firmansyah, alisku mengkerut, hebat juga ibu pikirku,bisa kenal dengan orang besar. Untuk menjawab rasa penasaranku akupun segera membuka isinya dan membacanya.




Teruntuk ibunda maryati
Di tempat

Asalamualaikum wr.wb
Ibu yati…sebelumnya mungkin ibu bertanya-tanya atas datangnya surat ini, karena saya tahu, ibu mungkin lupa sama saya, tapi sebelum saya memperkenalkan diri saya, saya ingin bertanya bagaimana kabar ibu dan dik rena di sana? semoga baik-baik saja, karena itu yang saya harapkan selama ini. Ibu…saya firman yang dulu suka di anggap ibu seperti anak ibu sendiri. Lebih tepatnya saya sahabat adi putra ibu, mungkin ibu tidak merasa atau tidak menganggap saya sebagi putra ibu, tapi saya merasa ibu seperti almarhum ibu saya sendiri, tiap hari ibu suka memberi saya makanan gratis sama saya, dan tentunya bersama putra ibu di kantin ibu. Mulai dari menu biasa sampai makanan terlezat ibu, pernah saya rasakan . Sejak itu pula secara diam-diam saya suka menuliskan harganya di buku diary saya dan saya berjanji suatu hari saya akan membayarnya. Saya tahu ibu seorang yang ikhlas tanpa pamrih tapi tahukah ibu, makanan – makanan itu sangat berarti buat saya karena ibu tahu sendiri saya tidak pernah jajan karena tak punya uang. Kadang saya juga malu hidup di bawah kasihan orang lain, mendapat makanan tanpa pamrih walau kadang saya juga menawarkan jasa untuk membantu mencuci piring bekas atau apa saja , tapi ibu waktu itu suka marah kata ibu tugas kami cuma main dan belajar, bukan bekerja. Saya jadi suka teringat almarhum ibu saya.Tiga tahun ibu memberi saya makan pagi dan siang ,jajanan kue-keue yang tidak terjual,bahkan ibu pernah membayar uang SPP saya yang nunggak 5 bulan .Itu semua membuat saya terharu.Waktu itu saya tidak tahu mesti berbuat apa? waktu bapak kepala sekolah memberi surat peringatan supaya saya melunsi SPP saya, jika tidak paginya saya tidak bisa sekolah lagi alias di keluarkan. Tapi ibu datang bersama adi melunasi uang SPP saya, saya tidak bisa memikirkan seandainya ibu tidak membantu saya tentu saya tidak akan menjadi sekarang ini. saya begitu terharu, orang yang hidup pas-pasan seperti ibu masih bisa peduli terhadap penderitaan orang lain. dari itu perkenankanlah saya untuk membalas semua budi baik ibu,saya tahu sekarang ibu sendirian membiayai dik rena yang sedang kuliah dan sekarang saya sudah merasa bahagia dan sejahtra dari itu sudilah kiranya ibu dan dik rena melengkapi kebahagiaan saya. Tinggal bersama saya dan saya yang akan menanggung semua kebutuhan ibu dan kuliah dik rena. Sekali lagi tinggallah bersama saya karena apa yang saya mliki sekarang ,milik ibu juga. Saya ingin berbagi semua ini bersam ibu dan dik rena. Bersama surat ini saya sertakan cek , silahkan isi oleh ibu berapa pun jumlahnya , karena saya tahu kebaikan ibu tidaklah sebanding dengan harta kekayaan saya sekarang. Saya sertakan cek ini supaya ibu bisa beres-beres dulu di desa. Selebihnya saya tunggu ibu dan dik rena di Jakarta.

Salam takzim dari ananda
Firman

Selesai membaca surat itu , tak ada yang bisa aku ucapkan. Aku menangis sambil mengucap syukur berkali-kali, begitu juga dengan ibu. Benar kata kakak allah tak pernah tidur, ia senantiasa memberikan rijkinya .untuk hambanya yang menuntut ilmu. Kami menangis sama-sama larut dalam kebahgiaan atas anugrah yang besar yang allah berikan tentunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar